Minggu, 21 April 2013

KEBIJAKAN PERANG MELAWAN TERORISME DAN HUBUNGAN AUSTRALIA - INDONESIA



KEBIJAKAN PERANG MELAWAN TERORISME DAN HUBUNGAN AUSTRALIA - INDONESIA
Kamis, 19 Mei 2011 | di 10:06 AM
Sebagai dua negara yang bertetangga, Indonesia dan Australia telah menjalin hubungan bilateral sejak masa – masa awal perjuangan untuk berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara. Dalam praktek hubungan bilateral kedua negara, masing – masing mempunyai cara pandang atau paradigma yang berbeda, khusunya dalam melihat dan menyikapi berbagai fenomena atau isu global. Australia sangat realis dalam melihat dan menyikapi berbagai fenomena maupun isu, serta cenderung pragmatis dan hati – hati dalam memposisikan diri mereka dalam fora internasional, apalagi jika menyangkut masalah Indonesia dan negara – negara Aia Tenggara yang menjadi tetangganya. Hal ini menyangkut berbagai kepentingan nasional negara – negara yang terkait dan saling berkepentingan, tak terkecuali Indonesia dan tentunya Australia sendiri .Sedangkan Indonesia melihat segala sesuatunya, khususnya menyangkut hubungan mereka dengan Australia dalam konteks yang idealis. Dalam artian bahwa hubungan bilateral yang telah terjalin di antara kedua negara seharusnya berjalan harmonis dan terus berada dalam koridor yang seharusnya, apalagi bagi dua negara yang “bersahabat”, dalam perspektif Indonesia.

Kita kemudian dapat melihat berbagai fakta dan analisa, dalam kurung waktu mana saja hubungan bilateral kedua negara menjadi sangat erat dan saling menguntungkan, dan di waktu mana saja hubungan kedua negara menjadi renggang atau setidaknya mengalami “fluktuasi”. Hubungan Australia dengan Indonesia diawali menjelang kemerdekaan Indonesia 1945. Dukungan Pemerintah Australia terhadap kemerdekaan Indonesia, yang telah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda, paling dirasakan antara 1947 -1950.1

Pada masa itu yang dapat kita saksikan adalah bagaimana Pemerintah Australia di bawah pemerintahan Perdana Menteri (PM) Ben Chifley begitu keras dan tegas dalam memperjuangkan pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan dan eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara. Menteri Luar Negeri Australia pada masa itu, Dr. Herbert Vere Evart dalam seuatu waktu kunjungannya ke Amerika Serikat dengan diplomatis menyatakan harapannya agar Hindia Belanda dan Australia dapat menjadi mitra erat dalam mengembangkan dan mendatangkan cara hidup yang lebih baik bagi rakyat Indonesia.2

Upaya keras Australia dalam mendukung kemerdekaan Indonesia pada masa lalu tercermin kuat dalam keterlibatan mereka dalam United Nations Committee on Indonesia(UNCI) bersama Amerika Serikat dan Belgia, yang berhasil menegosiasikan dan mendesak Belanda agar segera merealisasikan penyelesaian terakhir sesuai hasil keepakatan yang dihasilkan oleh ketiga negara. Hasilnya adalah Konferensi Meja Bundar yang kemudian dilaksanakan di Den Haag, Belanda pada tahun 1949 yang sukses memaksa Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara de jure. Peristiwa ini kemudian membuat hubungan kedua negara (Australia dan Indonesia) menjadi terlihat semakin erat, sehingga Indonesia kemudian memasukkan Austrlia ke dalam kategori “Negara – Negara Sahabat”.

Perubahan besar kemudian terjadi dalam percaturan politik kedua negara pada dekade 1950-an yang berdampak pada kecendrungan politik luar negeri masing – masing negara. Di Indonesia, berkembangnya ide – ide dan kebijakan sosialisme kerakyatan Indonesia yang kemudian popular dengan nama Marhaenisme, sedang dijalankan oleh Presiden Soekarno. Di saat bersamaan, kehadiran Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi salah satu kekuatan politik di Indonesia pada masa itu. Selanjutnya sudah dapat ditebak ke mana arah kecenderungan politik dan kebijakan luar negeri Pemerintah Indonesia. Apalagi dalam perkembangannya kemudian, Presiden Soekarno selalu bersuara vokal menentang kebijakan negara – negara barat dan yang dianggapnya sebagai bentuk proyek neokolonialisme dan neoimperialisme.
 

Sedangkan di Australia sendiri, perubahan peta politik terjadi dengan kemenangan Partai koalisi Non-Buruh (Liberal-Country) pada Pemilu 1949 di bawah Perdana Menteri baru Robert Menzies (1949-1966). Dengan demikian terjadi pula perubahan kecenderungan arah politik dan kebijakan luar negeri dalam pemerinahan Australia sendiri yang meninggalkan Asia dan condong ke Eropa dan Amerika Serikat, apalagi situasi Perang Dingin pada masa itu memaksa Australia untuk pro-Barat. Tidak tanggung – tanggung, bahkan sampai berani mengeluarkan pernyataan untuk mendukung eksistensi Belanda di Irian Barat. Padahal masalah Irian Barat (kemudian menjadi Irian Jaya) merupakan salah satu persoalan yang masih mengganjal dalam penyelesaian kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda.3 Dengan terus berlanjutnya dominasi Partai Koalisi di dalam system pemerintahan Australia hingga awal 1970-an membuat pola hubungan kedua negara juga terus berada pada intensitas yang rendah.

Setelah itu, hubungan baik di antara kedua negara kembali terjalin menyusul kemenangan Partai Buruh dan naiknya Gough Whitlam menjadi Perdana Menteri pada tahun 1972. Apalagi kemudian muncul masalah Timor – Timur, dan indikasi bahwa kelompok pro-kemrdekaan FRETILIN dekat dengan Uni Soviet yang kemudian sangat sensitif dan menjadi ketakutan tersendiri bagi Australia. Apalagi, Australia telah menyatakan konsisten untuk terus pro-Barat.
 

Dalam beberapa tahun selanjutnya, hubungan kedua negara terjalin tanpa adanya hambatan berarti. Hanya ada beberapa masalah yang sempat menyandung seperti kasus Timor Gap, yang menjadi landas kontinen perbatasan kedua negara dan pengelolaan Sumber Kekayaan Alamnya yang kaya yang sempat mencuat di masa PM Malcolm Fraser 1975-1983)dari Partai Koalisi. Masalah ini kemudian dapat diselesaikan pada masa pemerintahan Bob Hawke dari Partai Buruh.

Selanjutnya masa di mana hubungan bilateral kedua negara mengalami masa keemasannya yaitu di masa pemerintahan Paul Keating dari Partai Buruh (1991-1996). Selama masa pemerintahan PM Keating, kedua negara menjalin hubungan yang sangat produktif. Hubungan baik kedua negara kemudian meluas hingga ke taraf regional ASEAN dengan dimasukkannya Australia sebagai negara peninjau dalam ASEAN Regional Forum, yang selanjutnya menjadi mitra-dialog bagi negara – negara ASEAN.
 

Kembali dominannya Partai Koalisi, selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir setelah Pemilu 1996, dalam percaturan politik Australia kembali mengubah wajah hubungan kedua negara. Kondisi ini memang tidak mengubah arti penting Indonesia dalam politik luar negeri Australia, akan tetapi perubahannya tetap signifikan. Apalagi ada beberapa alasan yang mungkin bisa menguatkannya. Pertama, Perang Dingin yang telah berakhir, dan Australia tidak perlu lagi terlalu khawatir akan ancaman milite negara kuat yang sebelumnya kontra Blok Barat. Kedua, bahwa kecenderungan arah politik luar negeri Australia di tangan Partai Koalisi memang bukan Asia, melainkan Amerika dan Eropa. Ketiga, Perdana Menteri terpilih John Howard kemungkinan akan memfokuskan untuk memperbaiki kinerja dalam negerinya. Dan ini terbukti dengan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi Australia yang pesat selama Pemerintahan Howard. Bahkan ketika hamper seluruh negara tetangganya di Asia dilanda krisis moneter tahun 1997, Australia tetap berdiri stabil dengan pembangunan ekonominya.

Selanjutnya, selama masa pemerintahan PM Howard, ada beberapa masalah yang sempat memperkeruh suasana dan hubungan kedua negara, misalnya kasus disintegrasi Timor Leste dari NKRI, kontroversi isu atau wacana perang melawan terorisme yang dimotori oleh Amerika Serikat, dukungan Pemerintah Australia yang ikut terlibat lngsung dalam invasi ke Afghanistan dan Irak, dan beberapa masalah lain.

Kita kemudian akan mencoba melihat bagaimana dinamika hubungan kedua negara pasca-isu terorisme, karena masalah ini menjadi sangat sensitive, khususnya ketersinggungan – ketersinggungan yang muncul sebagai konsekuensi dari wacana atau isu terorisme yang menurut penulis memang kontroversial. Beberapa masalah bilateral yang sangat menggnggu dan berimplikasi luas sempat mencuat di antara kedua negara menyusul kebijakan Pemerintah Australia terhadap isu terorisme.
 

Australia Pasca Tragedi 11 September

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa peristiwa serangan Gedung WTC dan Pentagon pada 11 september 2001 yang lalu berdampak luas bagi dunia internasional, khususnya mengenai wacana ancaman terorisme yang bersifat global bagi setiap negara di seluruh dunia. Wacana ini kemudian merebak luas dan dikampanyekan oleh negara – negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara – negara Eropa. Setelah itu, kemudian muncul konsep “perang melawan terorisme” yang berada dalam komando negara Super Power Amerika Serikat.

Muncullah kemudian berbagai perang yang dilancarkan terhadap negara – negara yang dianggap sebagai “state sponsors terrorism”, seperti Afghanistan, Irak, dan Somalia. Beberapa negara yang menyatakan diri sebagai aliansi Amerika Serikat kemudian mengeluarkan kebijakan untuk terlibat langsung dalam perang – perang tersebut. Negara – negara maju yang selama ini menjadi aliansi utama Amerika Serikat, seperti Inggris, Italia, Spanyol, Belgia, Jepang, dan Korea Selatan, kecuali Jerman dan Perancis yang menolak, kemudian dengan sukarela mengirimkan angkatan perangnya ke negara – negara yang akan dijadikan korban. Negara – negara kecil semacam Filiphina, El Salvador, Guam, dan beberapa negara Eropa Timur yang telah dirangkul oleh Washington, pun kemudian ikut menurunkan pasukan.

Australia yang pada saat bersamaan dipimpin oleh Perdana Menteri Howard yang juga merupakan ketua Partai Koalisi, ikut pula menurunkan pasukannya. Hal ini tentunya bukan hal yang mengejutkan mengingat jika kita berkaca pada sejarah bahwa kiblat dari politik dan kebijakan luar negeri Australia dalam setiap masa pemerintahan Partai Koalisi adalah Amerika Serikat dan Eropa. Akan tetapi bagaimanapun juga, kebijakan Pemerintah Australia untuk terlibat dalam perang ini menurut penulis pilihan yang tidak tepat, apalagi dengan kontroversi yang mewarnai invasi tersebut. Pertama, bagaimanapun budaya dan masyarakat Australia mengatakan bahwa mereka adalah kulit putih, akan tetapi secara geografis mereka tetap berada wilayah selatan di belahan timur bumi. Yang artinya, interaksi mereka jelas akan sangat intens dengan ras – ras lain seperti ras kulit kuning Asia dan ras kulit hitam Afrika maupun Pasifik. Kedua, fakta bahwa Australia adalah negara yang multicultural, di mana masyarakat Australia pada umumnya terdiri dari para imigran yang berasal dari beberapa negara, baik itu dari Eropa, Timur Tengah maupun Asia. Pemerintahan PM Howard mungkin tidak mempertimbangkan secara matang tentang kemungkinan berbagai aksi protes dan penolakan masyarakat Australia sendiri terhadap kebijakan ikut perang tersebut yang menurut penulis akan berimbas pada menurunnya popularitas Howard sendiri sebagai pemimpin Australia. Ketiga, bahwa pertimbangan bahwa Pemerintah Australia tidak mempertimbangkan keuntungan apa yang akan mereka peroleh dengan mengikuti sang “Sheriff” untuk menurunkan pasukan di Afghanistan dan Irak. Menurut penulis, pemerintah Australia tidak mendapatkan banyak keuntungan dari perang tersebut. Mustahil mereka bersaing dengan Amerika Serikat dalam perebutan lahan minyak sumber – sumber kekayaan alam berharga lainnya di Irak maupun Afghanistan.

Seperti yang kita saksikan sendiri kemudian bahwa pihak atau pemerintah Australia memang tidak memperoleh hasil signifikan dalam kebijakan ikut perangnya di Irak dan Afghanistan. Pemerintah Australia malah kehilangan pamor dan respek dari rakyat di negara – negara tetangganya di Asia, khususnya Indonesia dan Malaysia. Pemerintah Malaysia bahkan dalam pernyataan kenegaraannya senada dengan rakyatnya berani menyatakan penolakan dan ketidaksepakatannya invasi ke kedua negara tersebut (Afghanistan dan Irak), termasuk keterlibatan negara – negara seperti Inggris, Australia, dan Filiphina yang secara historis dan emosional memiliki hubungan yang dekat dengan Malaysia sendiri. Sedangkan Pemerintah Indonesia sendiri belum berani mengeluarkan pernyataan – pernyataan apalagi sikap yang konfronatif seperti apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Malaysia. Pemerintah Indonesia cenderung memposisikan dirinya pada posisi abu – abu. Ini tentunya hal yang wajar, mengingat Pemerintah Indonesia harus berada atau berdiri pada posisi yang seimbang di mana kepentingan berbagai pihak berbagai harus dipertimbangkan. Kita bisa melihat realitasnya. Pemerintah Indonesia dituntut dari dalam untuk berperan sebagai representasi dari rakyatnya yang sebagian besar menolak dan mengutuk invasi brutal Amerika Serikat negara – negara sekutunya termasuk Australia di Timur Tengah tersebut. Sedangkan di sisi lain, Pemerintah Indonesia juga berusaha menjaga hubungannya dengan Pemerintah Australia agar tidak merenggang lagi, apalagi Indonesia lumayan banyak memperoleh manfaat dengan hubungan bilateralnya dengan pemerintah dan masyarakat Australia. Di sisi yang lainnya lagi, Pemerintah Indonesia harus menjaga hubungan pula dengan negara – negara Timur Tengah, khususnya yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), termasuk Pemerintah Irak dan Afghanistan yang dijatuhkan.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, sebagian besar masyarakat Indonesia,dari berbagai pihak dan golongan (umumnya kaum agamawan) menolak keras invasi Amerika Serikat negara – negara sekutunya ke Irak dan Afghanistan dengan berbagai alasan. Alasan umum yang sering dilontarkan adalah solidaritas keagamaan, karena kedua negara korban invasi tersebut adalah negara – negara dengan jumlah penduduk yang mayoritas beragama Islam. Dan tentunya merupakan hal yang dapat kita wajarkan juga mengingat Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah penuduk yang beragama Islam terbesar di seluruh dunia. Alasan lain umumnya adalah alasan kemanusiaan, dan pelanggaran kedaulatan terhadap negara lain, apalagi tindakan atau invasi tersebut dilakukan secara sepihak dan tidak pernah atas persetujuan Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB). Jadi tindakan tersebut tetap tidak dapat diterima, bahkan oleh masyarakat dunia pada umumnya. Penolakan dan kutukan rakyat Indonesia terhadap invasi tersebut dan para pelakunya tentunya berakibat pada perubahan peta hubungan Pemerintah dan sebagian besar rakyat Indonesia dengan setiap negara pelaku invasi tersebut.

Tindakan dan invasi Amerika Serikat dan negara – negara sekutunya terhadap kedua negara berpenduduk mayoritas beragaa Islam tersebut kemudian smemunculkan kelompok-kelompok yang mendukung fanatisme keagamaan yang berdasarkan pada kebencian terhadap kelompok atau golongan tertentu. Kebencian yang terbangun dari kelompok tersebut kemudian memotivasi mereka untuk melakukan perlawanan secara sembunyi – sembunyi atas ketidakadilan yang mereka lihat atau bahka rasakan sendiri terhadap saudara seimannya. Perlawanan yang merka lakukan itulah kemudian yang didefinsikan sebagai tindakan terror, dan para pelakunya kemudian disebut sebagai kelompok teroris. Anehnya adalah bahwa mereka yang kemudian diekspos media dan dikatakan sebagai kelompok teroris adalah kelompok – kelompok perlawanan yamg memiliki kesamaan identitas ideology, yaitu Islam. Maka jadilah wacana terorisme ini menjadi semakin kontroversial, karena identiknya dengan agama tertentu. Kontroversi yang tentunya telah menimbulkan ketersinggungan bagi kelompok pemeluk agama Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Perlawanan atau terror dalam definisi Amerika Serikat dan sekutunya kemudian banyak terjadi di negara – negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Filiphina, dan Thailand. Sedangkan Malaysia menjadi penyumbang tokoh – tokoh yang kemudian di”labeli” teroris, seperti Dr. Azahari dan Noordin Moh. Top yang diincar oleh inteligen Amerika Serikat. Setelah itu, kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia kemudian lekat dengan terminology “sarang teroris”.

Beberapa bentuk perlawanan terhadap invasi Amerika dan sekutunya di Timur Tengah kemudian terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok – kelompok yang dilabeli teroris tadi. Maka muncullah beberapa peristiwa tak terduga yang cukup mengguncang hubungan Australia dan negara – negara Asia yang sering dicap sebagai sarang teroris, khususnya Indonesia. Peristiwa – peristiwa yang dimaksud, seperti peristiwa peledakan gedung Sari Club, di Kuta Bali, yang kemudian lebih dikenal sebagai peristiwa Bom Bali I tahun 2002, peledakan yang terjadi di di depan Kedutaan Besar (Kedubes) Australia di Jakarta, dan terakhir peristiwa Bom Bali II tahun 2004. Aksi – aksi peledakan ini merupakan serangkaian peledakan bom yang terjadi di Indonesia selama merebaknya wacana Perang Melawan Terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
 

Dampak Terhadap Hubungan Bilateral dengan Indonesia

Dua peristiwa yang disebutkan pertama, jelas berdampak pada hubungan bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Australia. Peristiwa Bom Bali menjadi kasus pertama yang memakan korban jiwa warga Australia terbesar di Indoesia dengan jumlah korban hampir 200 jiwa, 86 di antaranya merupakan warga Australia. Sedangkan kasus kedua jelas diarahkan kepada kepentingan politik luar negeri Australia yang dianggap ikut bertanggung jawab atas pencitraan yang muncul bahwa terorisme itu identik dengan kelompok Islam radikal atau ekstrimis Islam. Juga sekaligus sebagai wujud kebencian mereka terhadap keterlibatan tentara Australia dalam invasi Amerika Serikat di Afghanistan dan Irak.
 

Sebagai tindak lanjut sekaligus reaksi Pemerintah Australia terhadap berbagai ancaman yang mereka rasakan dari berbagai serangan teror terhadap kepentingan mereka di Indonesia, maka keluarlah berbagai kebijakan reaktif dari Pemerintah Australia terhadap Indonesia. Beberapa kebijakan Pemerintah Australia kemudian cenderung menunjukkan ketidakpercayaan terhadap Pemerintah Indonesia, khusunya dalam menjaga keamanan dan kenyamanan warga negara lain yang berada di wilayah kedaulatannya. Berangkat dari rasa ketidakpercayaan itu, maka wajarlah jika kemudian Pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan larangan berkunjung (travel warning) bagi warganya ke Indonesia. Tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia tersebut tanpa memperhatikan pertimbangan bahwa Indonesia sangat dibutuhkan oleh Australia, khususnya dalam kepentingan geostrategisnya.
 

Hal tersebut wajar saja bagi Australia, mengingat Australia pada masa itu masih berada di bawah pemerintahan Partai Koalisi Liberal – Nasional pimpinan PM John Howard. Pemerintahan Partai Koalisi seperti yang kita ketahui selalu berkiblat ke Eropa dan Amerika dalam menjalankan politik luar negerinya. Sementara itu dengan Asia, hubungannya cenderung dijaga, bahkan kadang konfrontatif. Hal tersebut juga berlaku dan dilaksanakan oleh PM Howard selama berkuasanya. Di bawah Howard, Australia masih tetap terkesan menjaga jarak dengan Asia. Dengan dominasi sivilisasi barat, Australia seperti enggan mendekat dan mengambil sikap yang cenderung berpihak ke Barat, terutama AS dan Eropa.4

Sementara itu bagi Indonesia, kebijakan travel warning yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia jelas merugikan. Dan bagi Pemerintah Indonesia, menjadi sebuah pukulan telak, karena merupakan wujud ketidakpercayaan negara lain seperti yang telah dibahas sebelumnya. Pihak Indonesia jelas merugi mengingat masa tersebut merupakan masa di mana kunjungan wisatawan Australia ke Indonesia sedang meningkat. Pemerintah Indonesia pada hakikatnya menginginkan agar Pemerintah Australia segera mencabut kebijakan travel warning ke Indonesia yang diberlakukan kepada warganya. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai langkah dan upaya, baik itu upaya diplomasi ke luar negeri maupun upaya security building dari dalam negeri untuk memperoleh respon positif dari Pemerintah Australia dalam masalah travel warning tersebut.
 

Upaya Pemerintah Indonesia untuk membangun bidang pertahanannya telah mengalami kemajuan yang sangat signifikan, setidaknya dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini terbukti dengan suksesnya pihak Kepolisian RI dalam mengungkap berbagai fakta pelanggaran hukum, khususnya yang terkait masalah terorisme. Begitupula halnya dengan beberapa pelaku aksi terorisme yang berhasil ditangkap dan diadili oleh Pemerintah Indonesia. Akan tetapi, upaya tersebut menjadi tidak terlalu berarti dengan hasil upaya diplomasi Pemerintah Indonesia yang tidak berhasil meyakinkan pemerintah Australia tentang kondisi terkini di Indonesia.
 

Pada kenyataannya, Pemerintah Australia juga berusaha berada pada posisi yang aman dan tidak berani mengambil resiko, karena bagaimanapun juga pihak Australia masih berada dalam trauma kasus terorisme yang beberapa kali menyerang kepentingan mereka di Indonesia. Sementara itu, pada saat itu Pemerintah Indonesia, dalam hal ini agen keamanannya tidak memberikan peringatan dini tentang ancaman yang akan mereka peroleh. Hal inilah yang kemudian membuat Pemerintah Australia masih belum berani mengambil resiko dengan mencabut kebijakan travel warning bagi warganya untuk berkunjung ke Indonesia. Masalahnya kemudian bukan lagi terletak pada ketidakpercayaan Australia terhadap keamanan Indonesia yang kian membaik, tetapi pada sikap yang tidak mau disalahkan jika terjadi sesuatu terhadap warganya di Indonesia.5

Kesimpulan
 

Jika melihat pasang surut hubungan bilateral antara Pemerintah Australia dengan Indonesia, kita setidaknya dapat menarik sebuah analisa bahwa arah atau kiblat kebijakan politik luar negeri Australia ditentukan oleh kelompok atau kubu mana yang memegang kendali pemerintahan di Australia. Hal ini wajar saja mengingat dua kubu mayoritas di dalam sistem pemerintahan Australia berdiri pada posisi yang saling beroposisi atau bertentangan. Masing – masing kelompok dalam hal ini partai politik penguasa parlemen Australia mempunyai arah fokus kebijakan politik luar negerinya sendiri yang tentunya menjadi patron dalam melakukan hubungan bilateral dengan negar lain.

Wacana terorisme menjadi sangat sensitf dalam pembahasan kedua negara, mengingat masing – masing pihak mencoba untuk berdiri dalam posisi yang aman dan menjaga kepentingan masing – masing. Posisi Australia sebagai sekutu dekat Amerika Serikat mengingat partai berkuasa pada saat itu adalah Partai Koalisi yang dikenal dekat dengan Barat dalam politik luar negerinya. Sementara Indonesia yang disebutnya sebagai negara “sarang teroris” merupakan tetangga terdekatnya dan tetap berpandangan bahwa integrasi teritorial Indonesia tetap menjadi kepentingan nasional Australia. dalam hal ini sebagai benteng pertahanan dari serangan negara lain. Begitupula halnya dengan posisi Indonesia dalam simpul – simpul kebijakan Australia bersama Amerika Serikat dan Jepang.

Sedangkan bagi Indonesia, posisinya dan kepentingannya jauh lebih kompleks. Suara dan aspirasi rakyatnya masih menjadi sesuatu yang harus didengar, statusnya sebagai anggota OKI yang akan memperhadapkannya dengan negara – negara Arab yang baru saja diinvasi oleh Amerika Serikat dan sekutunya, tuntutan solidaritas negara – negara Islam, dan tentunya kepentingan ekonominya terhadap Australia menjadi pertimbangan – pertimbangan tersendiri sebelum mengeluarkan kebijakan.

DAFTAR PUSTAKA

Morgenthau, Hans J. 1990. Politik Antar Bangsa. Bandung :Bina Cipta.
 
Hamid, H., Zulkifli, Drs.1999. Sistem Politik Australia. Bandung : Rosda.
Rudy, May T. Drs. SH., MIR, M.Sc. 2002.Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin.Bandung: PT. Refika Aditama.
Supriyadi, M. Wahid.dalam KOMPAS, 23 November 2007. “Dampak Pemilu Australia bagi Indonesia”,
 
KOMPAS, 27 November 2007."Indonesia Diuntungkan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar