Chapel Hill, April 04, 2012
Seorang pembaca budiman mengomentarkan tulisan saya sebelumnya mengatakan bahwa persoalan di Indonesia adalah kompleks.
Yang membuat munculnya pertanyaan baru,
Apa Benar?
Sebagai seorang pensiunan tukang becak, saya merasa tertarik sekali mengetahui apa kompleks nya.
Tentunya saya bukanlah
naif dan uninformed mengenai
keadaan di Indonesia. Untuk itu dalam tulisan yang ini saya ingin
mengemukakan pendapat pribadi saya secara sederhana saja.
Biarpun anda sekolah tinggi menjadi profesor ataupun lulusan SD,
tentunya anda pasti terbawa dalam perdebatan ini, bahwa masalah di
Indonesia adalah kompleks. Itu menjadi pandangan umum di Indonesia.
Bahwa setiap masalah di Indonesia adalah sangat kompleks alias penuh
ruwetnya.
Menurut saya, ada benar nya ada tidak nya. Dalam arti bisa iya, bisa tidak.
Untuk itu menurut pengalaman saya pribadi selama menjadi tukang becak,
melihat segala masalah yang terjadi di jalanan, secara sederhana saja.
Persoalan di Indonesia, adalah dapat di lihat dari
kacamata yang sederhana saja. Yaitu, perlunya kesamaan antara para
pelaku di pemerintahan dan diterjemahkan kepada masyarakat secara
kebersamaan.
Ibarat soal
Korupsi, semua orang tahu Korupsi itu salah. Mengapa terus terjadi?
Jawaban saya adalah sederhana sekali, yaitu pihak2 yang ada secara
bersama setuju untuk saling berkorupsi. Dalam arti Kong Kalikong atau
istilah di jalanan nya ada 3 tokoh yang terlibat. Ini terlepas dari
SARA, kelas, dan apapun.
1. Penegak Hukum/ Pemerintahan.
2. Pedagang/ pemakai jalan alias rakyat.
3. Untung.
Dalam arti
1. Penegak Hukum/ Pemerintah.
2. Pedagang itu bisa tukang becak, tukang abu, tukang microlet. Rakyat adalah pemilik jalan ini.
3. Untung ini bukan pak Untung yang ahli silat, tetapi untung adalah
good deed. Secara metamorfosis adalah kesejahteraan bersama.
Jalan adalah salah satu dari kita sebagai individu manusia Indonesia
yang secara kolektif menggunakannya. Oleh sebab itu kita sebagai manusia
bukan kambing, secara kolektif Setuju untuk menggunakan jalan sebagai
sarana mencapai tujuan kita masing-masing.
Untuk itu kita juga secara kolektif, mengangkat dari antara kita
notabene Manusia sebagai Penegak Hukum/ Pemerintah untuk mengatur segala
sesuatunya. Terbitlah Polisi, Tukang sapu jalanan, Walikota, sampai
Menteri, Presiden, dan anggota-angota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Dengan tujuan para Manusia ini kita tunjuk untuk membantu kita dalam
berinteraksi dengan manusia Indonesia lainnya.
Oleh sebab itu di sebut Pemerintah. Dan kita Rakyat. Kita rakyat
tentunya juga memiliki independen nalar masing-masing. Oleh sebab itu
kita membuat aturan mainnya. yang di sebut Undang Undang.
atau istilah di dunia tukang becak, di sebut aturan mainnya.
Seperti contohnya, kalau parkir harus sejejer, tidak tumpang tindih.
Kalau ada penumpang harus menunggu gilirannya masing-masing alias antri.
Sesama tukang becak dilarang saling mendahului.
Kalau bahasa Inggilnya adalah Tata Kromo.
Kalau di Amerika, disebut Right Away. Artinya jika anda berhenti di
perempatan, kendaraan di sebelah kanan anda memiliki hak untuk jalan
dulu.
Kalau di bertamu, harus lepas sepatu atau sandal.
Kalau berpapasan harus saling sapa.
Sederhana sekali bukan?
Lalu kembali ke Korupsi yang meraja lela di Indonesia terus terjadi.
Mengapa?
Karena Tata Kromo ini sudah di artikan secara korup.
Bercampur aduk dengan sistim upeti model kesultanan. Dalam bahasa
kasarnya,setiap warga yang di tunjuk untuk menjadi pemerintahan harus di
layani.
Jadilah
salah kaprah. Artinya si Kacung Mau menjadi Sultan. Jika di terjemahkan dalam dunia tukang becak, yaitu,
Penumpang adalah Raja, bukan menjadi Tukang becak yang raja.
Artinya dalam berbisnis, seperti tukang becak, selalu mencoba membuat
para pelanggannya senang, dan loyal. Dan tidak mencari pertentangan yang
sia-sia.
Kesalah kaprahan ini yang terus terjadi. Wong sudah di percaya menjadi
pemerintahan, kok malah seenak udelnya saja mau menjadi Sultan. Kan di
Indonesia kini hanya satu saja yang di akui sebagai Sultan.
Lalu Solusinya, bagaimana?
Sederhana saja, seperti belajar naik sepeda, jatuh bangun, seribu kali
jatuh, harus 1001 kali bangun lagi. Jadi contohnya si Joko itu korupsi,
yang ganti saja. Cari yang baru. Sita semua yang ada di miliknya. Yang
terutama Nama Baiknya. Mungkin suatu saat dia akan berbalik membayar
kesalahan-kesalahannya. Bagaimana pun juga si Joko adalah rakyat
Indonesia juga.
Common sense adalah virtue. Contohnya si Joko, Camat yang Korup. Kita point it out secara jelas dan gamblang bahwa dia itu Korup dengan bukti yang ada.
Membuktikan adalah membuat Undang-undang yang jelas. Seperti UU
Pembuktian Kekayaan Sebagai pemerintahan. Misalnya Pak Joko, camat yang
di gaji sepenuh waktu, mendapat gaji 50 juta setahun. Memiliki aset
tanah dari keluarga besarnya sebagai warisan 10 Ha. Tiba-tiba tanpa
angin dan hujan memiliki uang tabungan 1 Milyar dan memiliki 2 mobil
BMW, serta becak 5.
UU yang common sense sesuai dengan tata kromo yang ada.
Sederhana sekali bukan?
Lalu mengapa tidak sesederhana dalam aplikasinya?
Jawabanya, menurut saya adalah Manusia Modern Seperti di Indonesia,
bertendensi mencoba membuatnya sangat kompleks.
Seperti dalam Sinetron2 yang ada sekarang ini, biar seru dan ramai.
Seperti PSSI yang di buat kompleks, supaya ramai dan dibicarakan, di opinikan, di intrikkan.
Contoh
PSSI adalah sangat sederhana sekali.
Karena bola itu Bundar, oleh sebab itu di sebut sepak bola yang bunder,
yang Bermain Bola itu hanya Manusia. Tentu saja dengan pengecualian di
Lampung, ada kesebelasan Gajah Lampung yang jago bermain bola.
Bola hanya satu saja harus kompleks masalahnya.
UU nya saja jelas, yang banyak memasukan gol ke gawang lawan itulah yang menang kan?
Kesimpulan saya sederhana saja, masalah yang sangat sederhana seyogianya
tidak harus di komplekskan. Kalau dalam istilah lawakan nya
“Even Caveman can do it.”
Apakah pengurus di PSSI dan dunia persepak bolaan di Indonesia lebih rendah dari CAVEMAN?
Hanya anda pembaca yang bisa menjawabnya.